18 Januari, 2010

Mengenal Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).

Silsilah keturunan :

Galur nasabnya adalah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.

Riwayat :

Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 – 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya ting-gal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.

Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.

Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tamjidillah menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah “Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”. Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:

  1. Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
  2. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
  3. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
  4. Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.

Riwayat Guru Makrifat

Tuan Guru Syekh KH. Muhammad Saman Al-Banjari

RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Tuan Guru Syekh KH. Muhammad Saman Al-Banjari pengamanah mutlak Ilmu Ma’rifatullah Wa Ma’rifaturrasul pengarang kitab “AWALUDDIN” lahir di Astambul Martapura Kalimantan Selatan pada tanggal 11 Maret 1919 dari seorang Ayah bernama Gusti Muhammad Saleh Bin Tuan Guru Matasin Bin Tuan GuruMuhammad Ali Binti Syafiah Binti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan seorang Ibu bernama Antung Sawiyah Bin Gusti Gantung Bin Pangeran Syaidullah. Beliau adalah anak bungsu dari lima bersaudara yaitu: 1). Antung Jainur, 2). Gusti Mahrus, 3). Gusti Masran, 4). Gusti Salman dan 5). Gusti Masnun (Nama beliau diwaktu kecil).
Kehidupan beliau diwaktu kecil berjalan lancer penuh kedamaian di bawah asuhan kedua orang tua beliau. Ketika berusia tujuh tahun ibunda yang sangat beliau cintai yang selama ini menjadi tempat mengadu dan bermanja tipanggil kehadirat Allah Rabbul Jalil. Maka selanjutnya beliau diasuh oleh nenek beliau sampai usia 13 tahun. Kemudian nenek kembali pula kehadirat-Nya. Seterusnya diasuh oleh Paman beliau sampai dengan dewasa.
Pada tahun 1944 di jaman penjajah Jepang menjadi lascar Jepang, Heiho. Sampai dengan tahun 1945 sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, bersama kawan-kawan melarikan diri dari Heiho setelah membunuh tujuh orang Jepang.
Bersama dengan kawan-kawan pada tahun 1947 bergabung dengan pasukan revolusi mempertahankan kemerdekaan yang ingin direbut kembali oleh penjajah Kolonial Belanda.
Pada tahun 1950 menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan pangkat Sersan Mayor Batalyon 602 Kompi IV Lambung Mangkurat sebagai Komandan Pleton II, dan kemudian berhenti pada tahun 1953 dari Dinas Ketentaraan. Ditahun 1950 ini pula beliau memperoleh jodoh dan menikah dengan seorang wanita bernama Fatimah Binti Abdul Muthalib di Tarakan. Dari perkawinan ini melahirkan putra putrid sebanyak tujuh orang yaitu: 1). Norma, 2). Nosyehan, 3). Muhammad Syamsuri, 4). Muhammad Syamsiar, 5). Galuh Srikandi, 6). Rukiah, 7). Hendra Negara.
Antara tahun 1953 sampai dengan tahun 1956 setelah berhenti dari Dinas Ketentaraan hidup beliau tidak menentu, melakukan berbagai macam pekerjaan untuk menghidupi keluarga (anak dan istri). Mencari penghidupan ke negeri tetangga seperti ke Tawau, Sabah, Malaysia bahkan sampai ke Filipina.
Kemudian atas kehendak Allah Rabbul Jalil pada tahun 1956 beliau memperoleh limpahan ilmu secara LADUNI, melalui Datuk Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Mula-mula ilmu yang diperoleh yaitu tujuh mata pelajaran pokok Ma’rifah yaitu:
1. Mengenal Diri
2. Mematikan Diri Sebelum Mati
3. Kesempurnaan Dua Kalimah Syahadat
4. Dzikrullah
5. Istinja
6. Junub, dan
7. Tanda-tanda Sakarul
Sejak tahun 1957 ilmu yang diperoleh, mulai diajarkan kepada orang-orang sekitar tempat tinggal di Tarakan, dari rumah ke rumah seorang diri. Kemudian pada tahun 1960 dengan Rahmat dan Ridho Allah beliau kembali secara Laduni diperkenalkan pada Dzat-Nya yang bersifat Laisa Kamisylihi Syai’un secara langsung tanpa melalui mahluk.
Maka mulaipada tahun 1960 ini ditambah satu mata pelajaran yaitu mengenal dzat Allah Rabbul Jalil dan Ilmu ini dinamakan “ AWALUDDIN MA’RIFATULLAH WA MA’RIFATURRASUL” hingga sampai sekarang ini.
Dalam perkembangannya dari tahun ke tahun sampailah beliau ke negeri tetangga Malaysia untuk mengajarkan ilmu yang ada pada diri beliau khususnya Tawau, Kota Kinbalu, dan sekitarnya di Sabah bahkan sampai ke Brunai Darussalam sehingga sampai dengan sekarang ini murid-murid beliau ribuan jumlahnya.
Selama kurun waktu 1980 sampai 1990-an beliau bolak balik Tarakan-Samarinda untuk mengunjungi putra beliau yang berdomisili menetap di Samarinda, kesempatan ini beliau gunakan untuk mengajarkan ilmu Ma’rifatullah Wa Ma’rifaturrasul kepada orang-orang musli yang ikhlas mau belajar kepad beliau sehingga lambat laun di Samarinda pun mulai banyak pula murid-murid beliau.
Pada tahun 1995 beberapa murid yang menyadari perlunya sebuah organisasi untuk melaksanakan pengajian, berhimpun dan bersepakat membentuk Majelis Ta’lim Ma’rifatullah Wa Ma’rifaturrasul Cabang Samarinda. Sedangkan pusatnya di Tarakan.
Sejak tahun 1997 beliau menetap di Samarinda dan Pusat Majelis Ta’lim Ma’rifatullah Wa Ma’rifaturrasul dipindahkan ke Samarinda.
Note:
Dikutip dari Buku Awaluddin Ma'rifatullah Wa Ma'rifaturrasul Oleh: Tuan Guru Syekh KH. Muhammad Saman Al-Banjari